RITUAL AKBAR RAMADHAN;
EKSPRESI TRANSENDENSI MENUJU PERSATUAN UMAT
Dr. Dudy Imanuddin Effendi, M.Ag
Rindu Ramadhan: Ekspresi Transendensi Manusia Beriman
Sebentar lagi kaum muslimin akan bertemu dengan salah
satu ritual akbar dalam Islam, yakni puasa di bulan ramadhan. Pertemuan dengan
puasa di bulan ramadhan sebagai sayyidusy syuhur (penghulu bulan-bulan)
selalu dinanti-nanti oleh seluruh kaum muslimin sedunia, termasuk di Indonesia.
Bahkan bentuk kerinduan setiap kaum muslimin ini, jauh-jauh hari sudah di
ungkapkan penuh harapan ketika bertemu dengan bulan rajab dengan doa, “Allahumma
barik lana fi rajaba wa sya'bana wa balighna Ramadhana” (Ya Allah, berkahilah
umur kami di bulan Rajab dan Syaban, serta sampaikanlah kami hingga bulan
Ramadhan).
Dalam konteks
psikologi positif, kerinduan ini menurut Peterson
dan Seligman dalam “Character Strengths and Virtues: A
Handbook and Classification, merupakan ekspresi transendensi
manusia beriman dalam mengimplementasikan bentuk keyakinan, harapan, dan
cintanya kepada Tuhan yang Maha Suci dengan segala perintah-Nya. Iman adalah
penerimaan, dan tanggapan terhadap kekuatan yang lebih besar dari dirinya
sebagai makhluk yang diciptakan-Nya. Harapan adalah ekspresi dari perhatian
yang utama dan akan mengalir dari pemahaman yang memadai tentang makna-makna
kehidupan dan keberadaannya di dunia. Adapun, cinta melahirkan sikap rela (altruistik)
ketika mengambil pilihan untuk masuk ke dalam hubungan dengan Tuhan dan sesama
manusia secara etis (aspek dogmatis), esoteris (aspek ritual) serta eksoteris
(aspek penghayatan). Keyakinan, harapan dan cinta seperti ini mengharuskan
setiap manusia beriman untuk bisa melampaui batas-batas diri dan duniawinya
menuju relung-relung spritualitas agama agar bisa menagkap seluruh makna-makna
yang terkandung dalam setiap perintah yang diberikan oleh Alloh.
Oleh karena
itu, kerinduan orang-orang beriman dalam menyambut setiap bulan ramadhan
merupakan gelembung spritualitas agama sebagai wujud ekspresi transendesi
dirinya. Pals dalam, “Seven Theories of Religion” seperti apa yang
diungkapkan oleh Durkheim bahwa keyakinan terhadap agama akan mensugesti spiritual seseorang
untuk mempercayai ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya dengan diiringi oleh
cinta, harapan dan kerinduan. Termasuk
kewajiban puasa di Bulan Ramadhan telah mampu mensugesti kaum muslimin untuk
menyambutnya penuh dengan keyakinan, harapan dan cinta. Kewajiban yang dituangkan
dalam surat al baqarah ayat 183 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Sepakat dengan beberapa ilmuwan
psikologi positif, ekspresi transedensi diri dalam menyambut dan melaksanakan
kewajiban puasa di bulan Ramadhan akan berkorelasi dengan kesehatan dan
kebahagiaan. Seligman dalam, “Authentic
happiness”
menyebutkan bahwa ekspresi transendensi diri akan menyebabkan seseorang menjadi
sehat, baik itu fisik, mental,
dan emosional. Kemudian kesehatan tersebut akan berkorelasi dengan kebahagiaan
dirinya. Bagi Seligman, iman, harapan dan cinta sebagai bagian dari ruh
transendensi diri dapat memainkan peran penting dalam melahirkan kesehatan
manusia beriman.
Rindu ramadhan
merupakan refleksi iman seseorang yang dapat menghantarkan dirinya pada
kesehatan. Bentuk iman seseorang akan mengindentifikasi dengan cara
meng’coping’ perilaku-perilaku kebaikan secara positif yang dapat menuntun
kepada kesehatan. Dzakiah Drajat dalam, “Islam dan Kesehatan Mental”
menyebutkan bahwa keimanan adalah suatu proses kejiwaaan yang tercakup di
dalamnya semua fungsi jiwa, perasaan dan pikiran. Apabila iman sempurna, maka
manfaatnya besar bagi kesehatan seseorang. Begitupun imannya seseorang yang
selalu ditampilkan dalam wujud kerinduan kepada puasa di bulan Ramadhan bisa
menghantarkan seseorang pada kesehatan fisik dan mental. Bentuk ekspresi transendensi diri terhadap
puasa di bulan Ramadhan ini, sepakat dengan Alan Cott dalam, “Fasting as a
Way of Life” dapat menghantarkan seseorang pada makna serta manfaat puasa
yang sebenarnya, yakni penyembuhan dari pelbagai gangguan mental. Menurut Alan
Cott, ditinjau dari penyembuhan kecemasan menujukkan bahwa penyakit seperti
susah tidur, merasa rendah diri dan lainnya juga dapat disembuhkan dengan
puasa. Bahkan dari sisi penyakit fisik, berbagai penyakit seperti ginjal,
kanker, hipertensi, depresi, diabetes, mag dan insomania dapat disembuhkan
melalui puasa.
Rindu ramadhan
sebagai refleksi dari keimanan seseorang merupakan konstruksi keyakinan
terhadap ajaran agamanya yang dipandang suci. Keyakinan agama yang telah
diasumsikan sebagai pandangan dunia. Sepakat dengan Ninian Smart, dalam, “Worldview, Crosscultural Explorations of
Human Belief”, pandangan dunia
yang merupakan cara pandang umum yang berupa
kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang
berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.
Sehingga logis kalau sebagain pemikir memposisikan bahwa pandangan dunia ini merupakan sistem
kepercayaan yang integral tentang hakekat diri manusia, realitas, dan makna
eksistensial. Berdasarkan keyakinan atas ajaran agama, maka momentum puasa
ramadhan telah dianggap mayoritas kaum muslimin sebagai syahrul ijabah, syahrul ibadah, syahrul maghfirah dan syahrul tarbiyah
yang diyakininya dapat membimbing manusia “kembali pada fitrah
kemanusiaannya”.
Rindu Ramadhan
merupakan refleksi harapan seseorang beriman yang dapat menghantarkan dirinya
kepada kesehatan. Barlow, Tobin dan Schmidt
dalam “Social Interest and Positive Psychology: Positively Aligned”,
harapan merupakan wujud pengungkapan sehatnya mental seseorang untuk mengejar
tujuan dan penciptaan makna dalam menjalankan kehidupannya. Bisa jadi,
harapan itu lahir setelah diri seseorang mengalami keputusasaan melihat situasi
sosial yang sedang dihadapi sebelumnya. Sepakat dengan Hepper dan Lee dalam, “Problem-solving appraisal and psychological
adjustment”, bahwa depresi, ketegangan mental, stress dan lainnya berkorelasi
dengan keputusasaan. Keputusasaan ini dipahami sebagai tidak adanya tujuan
bermakna dalam hidup. Dalam konteks inilah tujuan puasa ramadhan sesuai dengan
teks yang terkandung dalam alqur’an adalah “menjadi manusia yang sehat dalam
wujud pribadi bertakwa”. Pribadi bertakwa adalah manusia yang memiliki
karakter.
Sepakat dengan
Ryan dan Bohlin dalam, “Building Character in Schools: Practical Ways to
Bring Moral Instruction to Life”, karakter yang dimaksud mengandung tiga
unsur pokok yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai
kebaikan (loving the good) dan melakukan kebaikan (doing the good).
Karakter yang dapat menjadi “habit” atau kebiasaan positif yang terus menerus
dipraktikkan dan dilakukan. Karakter seorang muslim yang muncul di bulan
Ramadhan sebagai bagian dari mengetahui kebaikan (knowing the good),
mencintai kebaikan (loving the good) dan melakukan kebaikan (doing
the good) adalah tilawah, tadarus alqur’an, ta’lim, dzikir, sholat malam,
memperbanyak bersedekah, berbagi makanan, berjama’ah di masjid, menghidupkan
lailatul qadar, tarawih, memperbanyak silaturahmi, serta lainnya. Bentuk-bentuk kebaikan personal yang selalu
hadir dalam perilaku ritual akbar di bulan ramadhan. Lahir dari harapan
orang-orang beriman yang dibimbing oleh kekuatan positif dalam dirinya, berupa
qalbun salim (hati yang sehat), qalbun munib (hati yang kembali,
bersih, suci dari dosa), nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang), dan aqlus
salim (akal yang sehat). Rindu Ramdhan sebagai ekspresi transendensi diri,
harapannya berpuncak pada ampunan Alloh. Sebagaiman hadist yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim, yang bunyinya: “Barang
siapa puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala diampuni baginya
dosa-dosa masa lalu” dan “Barang
siapa yang menghidupkan Lailatul Qadar dengan penuh iman dan muhasabah, dosanya
yang telah lalu akan diampuni”.
Rindu
ramadhan merupakan refleksi cinta seseorang beriman yang dapat menghantarkan
dirinya pada kesehatan. Dalam keterangan alqur’an, kerinduan seseorang
menyambut kewajiban puasa di bulan ramadhan merupakan bagian dari cintanya
orang yang beriman kepada Alloh dan Rasul-Nya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan
dalam surat ali-imran ayat 31, yang berbunyi: “Jika kalian
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi kalian." Cinta ini menurut Peterson, dalam “Values in Action” adalah cara khusus untuk berhubungan dengan sesuatu atau
individu yang bersifat jangka panjang.
Hubungan ini umumnya saling menguntungkan, tetapi selalu meningkatkan
pertumbuhan dan martabat kemanusiaan yang ada dalam hubungan tersebut. Itu
biasanya diekspresikan dalam keintiman fisik dan emosional. Cinta juga mewakili
sikap kognitif dan perilaku. Salah satunya adalah cinta untuk Alloh diyakini
dapat menjadi sumber utama lahirnya kasih sayang, perlindungan, dan perhatian.
Cinta juga menurut McCullogh dan Witvliet, dalam “The
psychology of forgiveness”, terkait
dengan dua kekuatan karakter yakni kebaikan dan pengampunan. Kebaikan adalah
sikap kasih sayang, kemurahan hati, kepedulian kepada setiap manusia, bahkan
kepada orang asing. Hal ini merupakan kemampuan seseorang untuk menjangkau
orang lain tanpa mengharapkan apapun secara khusus. Beitupun cinta merupakan
bentuk welas asih yang mampu membayangkan diri sendiri dalam kesulitan yang
sama dengan orang yang bermasalah. Dalam konteks inilah, rindu ramadhan sebagai
ekspresi transendensi orang beriman diwujudkan dalam keikhlasan ketika
beribadah kepada Alloh pada konteks hablum minallah dan empati sosial
ketika menjalankan kehidupan pada
konteks hablum minannas.
Cinta dalam
makna pengampunan adalah cara yang mendorong pertumbuhan untuk menangani
hubungan yang tegang dan menimbulkan konflik bathin. Pada tingkat yang lebih
dalam, hal ini adalah ekspresi transendensi diri karena memaafkan merupakan tindakan melampaui reaksi langsung mereka terhadap
rasa sakit berupa kemarahan dan keinginan balas dendam. Menurut Baumeister dalam, “The victim role, grudge theory and two dimensions
of forgiveness”, hal ini juga bisa
menjadi tawaran belas kasihan dan keterbukaan dalam melakukan rekonsiliasi.
Pengampunan terbuka memiliki konsekuensi intra-psikis dalam diri individu yang
memaafkan berupa penyembuhan luka bathin yang telah membuat seseorang memiliki
penyakit mental. Dalam konteks inilah, Rindu
ramadhan sebagai refleksi cinta seseorang beriman dapat menghantarkan dirinya
pada kesehatan ditampilkan dalam bentuk
perilaku saling memaafkan sebelum memasuki ramadhan dan saling mendoakan
ketika sudaj selesai melaksanakan puasa ramadhan.
Keyakinan,
harapan, dan cinta yang merupakan ekspresi transendensi manusia beriman dalam
menyambut dan melaksanakan puasa di bulan ramadhan sepertinya telah menjadi
konstruksi sosial kaum muslimin. Siklus kerinduan atas datangnya bulan
ramadhan, fakta sosialnya terus mengalami perulangan secara regenerasi dari
dulu sampai sekarang. Bahkan sepertinya telah menjadi identitas khas kaum
muslimin yang terus mengalami dialektika sepanjang sejarah. Sepakat dengan
teori konstruksi sosial Peter L Berger, dalam “Tafsir Sosial atas
Kenyataan”, momen kerinduan terhadap bulan ramadhan ini selalu mengalami
proses eksternalisasi, objektivasi, dan
internalisasi pada setiap generasi, yang pada akhirnya membentuk salah satu
identitas khas kaum muslimin.
Ekspresi Transendesi menuju Persatuan Umat
Datangnya bulan ramadhan yang merupakan ritual akbar bagi
kaum muslimin sedunia, termasuk di
Indonesia mengarahkan pada visi dan misi hidup bersama secara harmonis. Bulan
Suci Ramadhan adalah kesempatan besar bagi semua muslim untuk melintasi batas-batas
sektarian dan momentum membangun persatuan umat secara langgeng. Inilah puncak
ekspresi transendensi kaum muslimin dalam manyambut dan melaksanakan puasa di
bulan ramadhan, dengan keyakinan, harapan dan cinta harus menumbuhkan
persaudaraa sejati di atas nilai ketakwaan. Dalam setiap momentum bulan
ramadhan inilah, persatuan umat di tampilkan secara baik dan benar. Dimana
seluruh individu-individu beriman tanpa memandang latar belakang identitasnya
sama-sama berusaha untuk mendisiplinkan diri sendiri, mengendalikan diri
sendiri, melakukan pengorbanan dan empati sosial dengan tindakan kemurahan hati
dan pelbagai amal sholeh. Tindakan-tindakan yang mampu merekat persatuan dan
menghindarkan diri dari perilaku-perilaku tercela yang bisa melahirkan perpecahan umat.
Abdul Rasyid
Afgan, dalam “Ramadan is the month of tolerance and religious unity”
telah menebutkan bahwa tujuan dasar ramadhan adalah untuk mengembangkan dan
meningkatkan kesalehan di antara orang-orang beriman. Salah satu ajaran besar
agama Islam di bulan suci ramadhan yang mengantarkan kesadaran terhadap
perlunya persaudaraan dan persatuan umat yang terikat dengan kesatuan ajaran.
Ramadhan merupakan bulan untuk menanamkan kesalehan sosial di antara berbagai
lapisan umat manusia. Fakta sosial ini menunjukkan bahwa di bulan ramadhan telah
menghantarkan semua umat muslim untuk bersatu tanpa memandang perbedaan, saling
memaafkan, saling memberi manfaat dan saling menebarkan nilai-nilai toleransi,
dengan harapan bisa mencapai derajat taqwa yang diinginkan.
Dalam konteks
inilah, puasa di bulan ramadhan sebagai kewajiban dalam agama bukan hanya
dipadang dari sisi dimensi etis dan eksoteris, akan tetapi sepakat dengan
Frithjof Schuon, dalam “The Transcendent Unity of Religions” haus juga
dipandang dari sisi dimensi esoteris. Dimensi esoteris puasa di bulan ramadhan
dapat meredusir tindakan-tindakan yang bukan hanya sekedar aspek-aspek eksternal
dan dogmatis-formalistik. Akan tetapi, dimensi esoteris puasa di bulan ramadhan
harus sampai menyentuh makna hakikinya sehingga kewajiban ini dapat membimbing
manusia untuk menemukan dirinya yang sejati. Dimensi esoteris puasa yang akan membangun
pribadi yang bisa melakukan penolakan atas dominasi supremasi ego manusia dan
menggantinya dengan ego yang diwarnai nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Esoterisme dan eksoterisme puasa di bulan ramadhan yang saling melengkapi, jika dipahami semua orang
maka akan mengarahkan pada persatuan umat yang dilandasi oleh nilai-nilai
ketakwaan.
Dalam analisa teori interaksi ritual, sepakat
dengan Erving Goffman, dalam “Interaction Ritual”,
puasa di bulan ramadhan merupakan ritual akbar kaum
muslimin yang mencerminkan aksi
kehidupan sosial keberagamaan yang menghasilkan solidaritas dan kohesi sosial
bahkan pelestarian simbol-simbol agama secara berjamaah. Kegiatan-kegiatan di
bulan ramadhan menggambarkan ritual akbar sebagai praktik keagamaan menuju
hal-hal yang sakral dan terpisah dari kehidupan yang profan. Ritual akbar di
bulan ramadhan ini merupakan aktfitas amal sholeh yang memiliki nilai penting
bagi setiap muslim dan penyikapannya sangat melampaui hal-hal duniawi. Kegiatan-kegiatan
ibadah dan amal sholeh lainya, di bulan ramadhan begitu sangat ditata dan diorganisir
secara disiplin oleh individu atau kelompok muslim dengan harapan bisa
dilakukan secara khusu. Bahkan kegiatan-keitan tersebut telah memperlihatkan
serangkaian interaksi ritual, yang menampilkan hubungan sosial berbagai
tingkatan emosional (keintiman) dan status interaksi dari satu pertemuan ke
pertemuan lainnya secara simultan. Hubungan sosial yang penuh keintiman dan
simultan di bulan ramadhan merupakan peluang merajutkan kembali persatuan umat,
yang sebelumnya bisa jadi telah tercederai oleh pelbagai perilaku tercela
seperti saling mencela, saling mengunjing, saling menghukumi, saling memfitnah
dan lainnya.
Sedangkan
jika di analisa oleh teori “Interaction Ritual Chains” (rantai interaksi
ritual) yang dikembangkan oleh Randall Collin, bahwa rotasi ritual akbar di
bulan ramadhan merupakan rantai interaksi ritual yang telah berperan
mengkonseptualisasikan emosi kaum muslimin sebagai energi positif dalam dunia
sosial-keagamaan secara kolektif. Tampilannya secara sosial telah menunjukkan
bahwa interaksi ritual akbar di bulan ramadhan telah menjadi atmosfir emosi
positif yang dapat ditemukan dalam pengalaman-pengalaman setiap individu atau
kelompok muslim dalam melaksanakan ibadah dan amal sholehnya. Bahkan ritual akbar
di bulan ramadhan ini telah menjadi fondasi dalam membentuk nilai-nilai
persaudaraan dan telah memberikan kontribusi besar para pelakunya untuk
memahami hubungan dimensi ritual dengan pelbagai kehidupan sosial mereka. Nilai-nilai
persaudaraan dan pemahaman hubungan dimensi ritual dalam pelbagai kehidupan
sosial ini merupakan bentuk transendesi umat muslim dalam menguatkan persatuan
yang dilandasi oleh ketakwaan. Transendensi dalam makna kesadaran adanya
pengakuan terhadap keunggulan-keunggulan mutlak yang melampaui akal manusia dan
yang berkaitan dengan ketergantungannya kepada pencipptanya. Tidak hanya
terbatasi oleh naluri manusianya seperti keserakahan, kekayaan, pengetahuan
positivistik, nafsu kekuasaan, dan lainnya yang selalu mengarahkan kehidupan
manusia pada suasana konflik. Transendensi dalam makna kesadaran tentang adanya
kebenaran universal yang telah dikonseptualisasi dalam wahyu Alloh (al qur’an).
Wahyu al qur’an yang diturunkan di bulan ramadhan dan telah menjadi rujukan
bersama kaum muslimin untuk saling menjaga persatuang yang terikat dengan buhul
Alloh.
Intensitas
kegiatan ritual akbar di bulan ramadhan, sepakat dengan Emiel Durkheim dalam ‘The Elementary Forms of the
Religious Life” sejatinya harus menumbuhkan kesadaran setiap
individu atau kelompok muslim untuk menguatkan persatuan umat. Kenapa? Sebab
kegiatan-kegitaan ritual di bulan ramadhan secara empiris telah melahirkan "collective effervescence"
(kebahagiaan kolektif) secara positif, dengan ditandai (a) Kedalaman perasaan bersama
dari seluruh kaum muslimin; (b) lahirnya individu-individu muslim yang
mensakralkan lambang-lambang simbolik yang berkaitan dengan unsur agama yang
dianggap penting; (c) membangkitkan energi emosional yang positif dari setiap
individu muslim, seperti kepercayaan diri dan antusiasme dalam melaksanakan
putaran ritual yang berulang-ulang dan dalam suatu tingkah laku yang
berorientasi pada tujuan yang sakral; (d) melahirkan perasaan moral dari setiap
individu muslim tentang nilai benar dan salah dalam menjalankan kehidupan
berdasarkan rujuka utama al qur’an dan sunnah serta literasi para ulama; dan,
(e) lahirnya interaksi antar sesama individu atau kelomppok muslim untuk saling
membangun komitmen, kepercayaan, toleransi bahkan persatuan umat.
Simpulan akhir dari catatan sederhana ini, kerinduan kepada
datangnya bulan ramadhan semestinya bisa menjadi proses pengelembungan
transendensi umat menuju persatuan. Oleh karena, ritualisasi bersifat akbar di
bulan ramadhan ini telah menampilkan semenjak dahulu mengenai pembangkitan
konsensus publik tentang nilai-nilai, simbol, dan perilaku religius yang melibatkan
partisipasi komunal dalam orkestrasi kerbsamaan secara fisik. Bahkan dapat dilihat
jelas dalam peristiwa-peristiwa pelaksanaan ibadah dan amal sholeh kebanyakan
dilaksanakan dengan mengintegrasikan pelbagai individu dan kelompok muslim.
Sepakat dengan Catherine Bell, dalam “Ritual Theory, Ritual Practice”,
praktik-pratik ritual yang dilakukan secara akbar dapat menjadi instrumen kontrol sosial keagamaan di kalangan
kaum muslimin. Sebab didalam bulan ramadhan, sepertinya terdapat penekanan
secara alamiah pada hubungan sosial sesama kaum muslimin untuk kembali menata
interaksi yang mengarah kepada terciptanya kohesi dan solidaridas sosial yang
kuat. Bahkan bulan ramadhan ini bisa menjadi bulan untuk mereduksi
konflik-konflik yang terjadi sesama kaum muslimin menuju persatuan umat (itihadul
ummah). Keyakinan, harapan dan cinta yang tumbuh dalam catatan sederhana
ini, “semoga memasuki bulan ramadhan, kita semau bisa menjadi agen-agen sosial
keagmaan yang dapat mempersatukan umat”.(rujukan bisa klik
digilib.uinsgd.ac.id)/ (MBN journalnews.co.id)
Penulis:
1. Pengamat
Sosiol-Keagamaan di Jurusan BKI FDK UIN SGD Bandung dan Lidzkri Foundation
2. Ketua
Majelis Pertimbangan Daerah BKPRMI Kota Bandung
3. Lajnah
Tafkir Dewan Syariah Persatuan Umat Islam Jawa Barat.
No comments:
Post a comment